K E S A B A R A N

Oleh Ust. Anis Matta, Lc.

Tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan.

Maka dahulu ulama kita mengatakan: “Keberanian itu, sesungguhnya hanyalah kesabaran sesaat.”

Risiko adalah pajak keberanian. Dan hanya kesabaran yang dapat menyuplai seorang pemberani dengan kemampuan untuk membayar pajak itu terus-menerus. Dan itulah yang dimaksud Allah swt dalam firman-Nya: “Jika ada di antara kamu dua puluh orang penyabar, niscaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang. Dan jika ada di antara kamu seratus orang (penyabar), niscaya mereka akan mengalahkan seribu orang kafir.”(QS. 8: 65).

Ada banyak pemberani yang tidak mengakhiri hidup sebagai pemberani. Karena mereka gagal menahan beban resiko. Jadi keberanian adalah aspek ekspansif dari kepahlawanan. Tapi kesabaran adalah aspek defensifnya. Kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa kita mampu membawa beban idealisme kepahlawanan, dan sekuat apa kita mampu survive dalam menghadapi tekanan hidup. Mereka yang memiliki sifat ini pastilah berbakat menjadi pemimpin besar. Coba simak firman Allah swt ini: “Dan Kami jadikan di antara mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka selalu yakin dengan ayat-ayat Kami.” (QS. 32 : 24).

Demikianlah kemudian ayat-ayat kesabaran turun beruntun dalam Qur’an dan dijelaskan dengan detil beserta contoh aplikasinya oleh Rasulullah saw, sampai-sampai Allah menempatkan kesabaran dalam posisi yang paling terhormat ketia la mengatakan: “Mintalah pertolongan dengan kesabaran dan sholat. Sesungguhnya urusan ini amatlah berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. 2: 45 )

Rahasianya adalah karena kesabaran ibarat wanita yang melahirkan banyak sifat lainnya. Dari kesabaranlah lahir sifat santun. Dari kesabaran pula lahir kelembutan. Bukan hanya itu. Kemampuan menjaga rahasia juga lahir dari rahim kesabaran. Demikian pula berturut-turut lahir kesungguhan, kesinambungan dalam bekerja dan yang mungkin sangat penting adalah ketenangan.

Tapi kesabaran itu pahit. Semua kita tahu begitulah rasanya kesabaran itu. Dan begitulah suatu saat Rasulullah saw mengatakan kepada seorang wanita yang sedang menangisi kematian anaknya: “Sesungguhnya kesabaran itu hanya pada benturan pertama.” (Bukhari dan Muslim). Jadi, yang pahit dari kesabaran itu hanya permulaannya. Kesabaran pada benturan pertama menciptakan kekebalan pada benturan selanjutnya. “Mereka memanahku bertubi-tubi, sampai-sampai panah itu hanya menembus panah,” kata penyair Arab nomor wahid sepanjang sejarah, Al-Mutanabbi.

Mereka yang memiliki naluri kepahlawan dan keberanian, harus mengambil saham terbesar dari kesabaran. Mereka harus sabar dalam segala hal: dalam ketaatan, meninggalkan maksiat atau menghadapi cobaan. Dan dengan kesabaran tertinggi, “sampai akhirnya kesabaran itu sendiri yang gagal mengejar kesabarannya,” kata Imam Ibnul Qayyim.[]

*Anis Matta: Mencari Pahlawan Indonesia

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Tarbiyah Ruhiyyah

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ikhwah sekalian, pada tahun ke-4 kenabian saat beberapa sahabat Rasulullah SAW dalam suasana “bercanda” sesama mereka,  turun ayat yang menegur mereka:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (١٦)

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (Al-Hadid: 26).

Ini adalah peringatan dini kepada para sahabat yang baru 4 tahun berIslam, karena memang generasi yang akan dibentuk adalah pondasi dari seluruh bangunan Islam yang kita nikmati sampai hari ini, juga adalah generasi yang kuat dari seluruh aspeknya. Ciri utama generasi ini yang menggabungkan kekuatan fisik, kekuatan ruh/iman dan dan pikiran adalah focus yang sangat tajam pada orientasi/tujuan, dan itulah makna khusyu’ yang sebenarnya. Kalau kita melihat ayat yang menegur para sahabat yang dalam suasana bercanda itu menunjukkan bahwa Allah swt ingin agar “sifat kelemahan” ini tidak ada pada generasi yg akan menjadi pondasi bangunan dakwah ini. Belumkah dating saatnya..

Jadi yang dimaksud khusyu’ adalah:

الخُشُوعُ : اَلاِتِّصَالُ الدَّائِمُ بِاللهِ الَّذِي هُوَ غَايَتُنَا (الِاتِّصَالُ الدَّائِمُ بِالْهَدَفِ)

Ketersambungan yang terus-menerus dg Allah swt yang menjadi tujuan kita.

Jadi ada semacam “sense of direction” (perasaan terarah yang terus menerus disertai dg ketekunan, kesungguhan untuk menjadi semua proses mencapai tujuan. Jadi khusyu’ tidak ditandai dengan tampilan yang menunjukkan kita adalah orang yang terus menerus “menunduk”, tetapi ia adalah ingatan yang terus menerus kepada Allah ta’ala, kepada akhirat, kepada tujuan akhir yang membuat kita terus menerus mendapat energy untuk bekerja tanpa henti.

Oleh sebab itu, kalau kita ingin mendefinisikan tarbiyah ruhiyyah dari maraji’ ikhwaniyyah, dan juga turats (warisan) tarbiyah ruhiyyah dari ulama kita yang mereka mengambilnya dari Al-Quran dan Sunnah maka secara sederhana tarbiyah ruhiyyah adalah:

التربية الروحية : فَنُّ الصُّعُوْدِ الْمُسْتَمِرِّ فِي عَالَمِ الْكَمَالِ الْإِنْسَانِيِّ

Seni untuk mendaki secara terus menerus di alam kesempurnaan manusiawi.

Jadi kita ini ibarat mendaki gunung, dan gunung ini gunung kesempurnaan kita sebagai manusia. Proses pendakian itu adalah proses yang terus menerus, semakin kita naik semakin berat situasinya karena oksigennya makin sedikit, bebannya makin banyak. Itu sebabnya Imam Syahid menyebutkan bahwa diantara manusia hanya sedikit yang beriman, dan diantara yang beriman hanya sedikit yg beramal, dan diantara yg beramal hanya sedikit yang berdakwah, dan diantara yang berdakwah itu hanya sedikit yg sabar, dan diantara yang sabar itu hanya sedikit yang benar-benar sampai ke akhir perjalanan. Itu menunjukan bahwa semakin ke atas semakin mengerucut dan semakin sedikit anggotanya. Oleh karena itu Abu Bakar berdoa:

اللَّهُمَّ اْجْعَلْنِي مِنَ القَلِيلِ

 Ya Allah jadikanlah aku diantara yang sedikit itu.

Allah juga menyebutkan:

ثُلَّةٌ مِنَ الأوَّلِينَ (١٣) وَقَلِيلٌ مِنَ الآخِرِينَ (١٤)

Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian (Al-waqi’ah: 13-14).

Iman yang kita pelihara di dalam diri kita ini mempunyai dua bentuk ekspresi kekuatan:

(1)             الْقُوَّةُ الَّتِيْ نَتَحَمَّلُ بِهَا الْوَاجِبَاتِ والطَّاعَاتِ

(2)             الْقُوَّةُ الَّتِيْ نَتَصَدَّى بِهَا الأَعْدَاءَ وَالْإِغْرَاءَاتِ

  1. Kekuatan yang kita perlukan untuk memikul beban kewajiban dan taat
  2. Kekuatan yang kita perlukan untuk menghadapi musuh dan juga godaan

Jadi satu sisi dari kekuatan itu kita perlukan untik memikul beban, dan sisi lainnya untuk menghadapi musuh. Karena selama kebenaran dan kebatilan “fii shira’in daa-im” (senantiasa ada dalam konflik abadi), maka kita selamanya akan punya musuh. Al-Quran menyebutkan:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا (٣١)

Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong. (Al-Furqan: 31)

Ayat ini seharusnya menghidupan dalam diri kita apa yg disebut dengan “sense of war”  الْحَسَّاسِيّةُ الْحَرْبِيَّةُ hasasiyah harbiyah, bahwa kita senantiasa ada dalam perang, sebagian dari musuh kita adalah setan yang tidak tampak, dan sebagiannya tampak. Dan yang tampak itu lebih keras dari yg tidak tampak, karena bisa lebih sadis. Iblis hanya berbisik-bisik, tetapi setan yang tampak bisa membunuh, memenjarakan dan seterusnya. Tapi tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan diri dari keadaan “mempunyai musuh”.

Dalam dua sisi/ekspresi iman inilah kita harus memfungsikan tarbiyah ruhiyyah itu dalam kehidupan pribadi kita maupun di dalam jamaah. Energi untuk memikul beban dan energi untuk melawan.

Kalau kita membaca buku Madarijus Salikin: ada sisi sebelah kanan kita yaitu “daairah al-wajibaat wal-mustahabbaat” bahwa kita selalu melaksanakan daftar amal-amal yang wajib dan sunnah, sedangkan di sisi kiri kita meninggalkan “daairah al-muharramaat wal makruuhaat” meninggalkan yang haram dan makruh. Nanti kalau kita sudah naik tinggi seluruh waktu kita diisi dengan yang wajib dan sunnah, selanjutnya secara perlahan-lahan kita meninggalkan yang sifatnya mubah supaya semuanya dikonversi menjadi mustahabbaat (yg sunnah/disukai Allah). Dan ini membutuhkan energi yang tidak sedikit, energy utk melaksanakan daftar kebajikan yang begitu banyak. Tetapi pada waktu yang sama kita juga membutuhkan energy untuk melawan, karena waktu kita melaksanakan kewajiban ini kita tidak berjalan mulus, tidak sendirian, ada gangguan. Ada usaha utk mencegah kita melaksanakan kewajiban-kewajiban itu. Usaha inilah yang dilakukan oleh musuh, oleh karena dua sisi keimanan inilah yang harus terus menerus kita picu.

Kalau tarbiyah ruhiyyah itu hanya memberi energy kepada kita untuk melaksanakan kewajiban dan memikul beban tetapi tidak memberi energy utk melawan, pasti ada yang salah dalam proses tarbiyah ini. Begitu juga sebaliknya. Itulah sebabnya kita mengenal istilah “ruhbanun billail wa fursanun bin nahar” , dan itulah dua sisi keimanan. Waktu menjadi ruhban itulah sisi keimanan yang memberinya energy untuk melaksanakan daftar kewajiban yg begitu banyak, saat menjadi fursan itulah sisi keimanan yang memberinya energy untuk melawan.

Jadi ia hanya ada dalam dua warna hidup: ibadah dan perang. Dua hal ini yang memang dihindari oleh tabiat manusia, kita tidak ingin memikul beban dan tidak ingin melawan musuh. Karena pola hidup seperti ini berat, maka kita diajarkan doa dalam al-ma’tsurat:

اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن ، وأعوذ بك من العجز والكسل ، وأعوذ بك من الجبن والبخل ، وأعوذ بك من غلبة الدين وقهر الرجال

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil, dari tekanan hutang dan dominasi kesewenangan orang-orang.

Antum  perhatikan urutan doa ini: al-hammu wal hazan itu di dalam hati, inilah racun yang menjadi sumber kerapuhan ruhiyah kita. Nanti penampakkan karakternya pada diri kita ada pada ajz (kelemahan) dan kasal (kemalasan) berhubungan dengan internal individu. Perhatikan selanjutnya al-jubn (sifat penakut) dan al-bukhl (bakhil): ini adalah karakter yang berkaitan dg hubungan social kita, takut menghadapi musuh dan tidak mau berkorban. Jika racun dalam hati itu ada berupa al-hamm wal hazan, dan tampak dalam diri berupa al-‘ajz wal kasal, lalu tampak dalam karakter yang berhubungan dengan relasi social kita yaitu al-jubn wal bukhl, maka penampakan social politik kita secara keseluruhan adalah ghalabatid dayn wa qahrir rijal yaitu ketergantungan ekonomi dan ketergantungan politik, gampang diintimidasi oleh orang lain, tergantung secara finansial kepada orang lain dan gampang diintimidasi. Itulah penampakan umumnya yang berasal dari hati berupa al-hammu wal hazan.

Sekarang insya Allah kita sudah memiliki gambaran tentang pemaknaan tarbiyah ruhiyyah dalam kehidupan jamaah kita. Ikhwah sekalian, setelah kita memasuki dunia politik maka sisi iman berupa sense of war dan energy melawan itu mengambil bentuk dan porsi yang sangat besar. Sisi ini belum kita rasakan betul saat kita masih berada di periode awal dakwah kita. Dan ini yang telah saya jelaskan saat di Makassar tentang makna politik pada sisi prosesnya.

Kalau kita mencoba mengambil intisari dari seluruh konsep, mafahim, manahij, dan juga wasail tarbiyah ruhiyyah yg begitu banyak, kira-kira kita bisa menyimpulkan bahwa factor penguat ruhiyyah dibentuk oleh dua hal:

1-              الْمَفَاهِيْمُ الرُّوْحِيَّةُ

2-              الأَعْمَالُ التَّعَبُّدِيَّةُ

Pemahaman ruhiyyah dan amalan-amalan ta’abbudiyyah.

Jadi kekuatan ruhiyyah itu dibentuk oleh pemahaman-pemahaman ruhiyyah kita di satu sisi dan di sisi lain oleh amalan-amalan.

Mafahim Ruhiyyah

Jika kita berbicara ttg mafahim ruhiyyah secara sederhana adalah seperti yang disimpulkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-waabil As-Shayyib: bahwa seluruh perjalanan hidup kita sebagai mu’min akan menjadi sempurna ketika kita ada dalam dua kaca mata yang berimbang:

مُشَاهَدَةُ الْمِنَّةِ  وَ الاِعْتِرَافُ بِالْقُصُوْرِ

Mempersaksikan semua karunia yang diberikan oleh Allah swt di satu sisi dan di sisi lain adalah pengakuan atas kelalaian-kelalaian kita. Antara apa yg kita persembahkan kepada Allah dengan apa yang diberikan ALLah itu tidak pernah imbang. Kita menerima karunia Allah jauh lebih banyak dari amal yang kita persembahkan kepada Allah swt. Situasi inilah yang membuat kita berada diantara al-khauf wa ar-raja (takut dan berharap), kesadaran yang berkesinambungan bahwa apa yang kita berikan tidak akan pernah bisa mencukupi atau mengimbangi karunia Allah swt.

A’mal Ta’abbudiyyah

Di dalam kesadaran seperti itulah ikhwah sekalian saya ingin mengambil intisari dari wasail/a’mal tarbiyah ruhiyyah itu yaitu focus pada tiga hal yang paling kuat yaitu tilawatul quran, shalat, dan dzikir.

  1. Tilawatul Qur’an

Ada dua bentuk tilawah:

التِّلاَوَةُ التَّعَبُّدِيَّةُ وَ التِّلاَوَةُ التَّأَمُّلِيَّةُ

Tilawah ta’abbudiyyah (tilawah ritual ibadah) dan tilawah ta-ammuliyyah (tilawah perenungan).

Tilawah ta’abbudiyyah diwajibkan kepada setiap kader 1 juz setiap hari. Saya ingin menjelaskan sedikit secara amaliyah/praktek: kadang-kadang karena kesibukan implementasi tilawah dalam mutabaah di liqa tarbawi kita tidak sempurna, saya kira kita mengalaminya. Saya ingin memperkenalkan istilah nizham al-qadha (system qadha/ganti): kalau tilawah ta’abbudiyyah kita tidak beraturan, tidak bisa 1 juz setiap hari, kita mesti menyediakan waktu sekali dalam seminggu untuk meng-qadha semua kekurangan tilawah pada pekan itu. Atau karena kesibukan yang sangat padat bisa jadi kita meng-qadha utk sebulan, jadi dalam satu tahun kita tetap minimal mengkhatamkan 12 kali. Dan sebaiknya kalau ada hutang tilawah tidak diganti dengan infaq, tetapi diqadha dengan amal yang sama di waktu senggang yang kita sediakan. Ini solusi supaya kita selalu berada dalam kesinambungan.

Yang kedua, sudah saatnya kita memperbanyak waktu utk tilawah ta-ammuliyyah dengan melakukan pendekatan berbasis tematik, kita mulai membaca quran dengan pendekatan ta-ammul (perenungan mendalam), dan mencoba melakukan istilham (mencari ilham/inspirasi) dari AL-Quran ini. Kita mencoba berimajinasi seperti dahulu Muhammad Iqbal melakukannya, dan juga dalam sejarah Imam Syahid sendiri. Waktu beliau membaca Al-Quran, orang tuanya bertanya: “Apa yang kamu baca?” Saya sedang membaca Al-Quran. Lalu orang tuanya mengatakan: “Bacalah Al-Quran itu seolah-olah ia diturunkan kepadamu.” Karena Al-Quran ini diturunkan pada fase yang lama, tidak sekaligus, oleh karena itu unsur momentum menjadi penting dalam memahaminya. Dan momentum-momentum itu diciptakan oleh Allah berulang dalam kehidupan manusia sehingga kemungkinan kita melakukan qiyas (analogi) kepada momentum-momentum itu sangat banyak walaupun tidak persis sama kejadiannya, tetapi kita tetap bisa mendapatkan ilham dari situ, karena Al-Quran dating dengan kaidah-kaidah umum dan tidak tergantung kepada kehususan sebab peristiwa turunnya. Kaidahnya adalah:

الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

Ibrah dari ayat itu adalah dengan keumuman lafaznya (teksnya) dan bukan dengan kekhususan sebab turunnya.

Konteks turunnya penting memberikan kita ilham untuk menemukan kesamaan, tetapi ibrahnya tetap saja berlaku umum. Surat-surat Al-Quran itu memiliki kedekatan-kedekatan antara satu dengan lainnya. Seperti surat Al-Anfal, At-Taubah, Muhammad dan Al-Fath adalah surat-surat jihad dari sisi tema suratnya.

Contoh lain: ketika kita melihat kata al-makr (makar) di dalam Al-Quran, maka ayat-ayatnya menjelaskan bagaimana konstruksi konseptual dari makar itu dalam tinjauan Al-Quran. Salah satu yang menarik bahwa semua makar yang disebutkan dalam Al-Quran selalu dihubungkan dengan sifat Allah yang terkait dengan Al-qudrah (kemahakuasaan Allah) dan selalu diletakkan dalam konteks al-qadha wal qadar, supaya kita membaca tentang makar manusia sehebat apapun, tetapi kendali alam semesta ini tetaplah dalam kekuasaan Allah swt seperti ayat yang dibacakan tadi oleh “Hafizh” anak salah seorang ikhwah yg sudah hafal 30 juz:

وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَبَقُوا إِنَّهُمْ لا يُعْجِزُونَ (٥٩)

Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah).

Begitu juga ayat-ayat yang terkait dengan fakta-fakta alam raya, seperti angin yang dijelaskan sebagai salah satu tentara Allah swt, oleh karena itu sains tidak pernah punya ilmu pasti tentang arah angin, tetapi selalu perkiraan, karena Allah lah yang yusharrifuhu (mengarahkannya) sekehendak-Nya . Bahwa setiap benda ada malaikat yang mengurusnya, waktu kita naik pesawat melalui turbulence, ada malaikat yang khusus mengatur akan dibawa kemana angin itu.

Pembacaan dan perenungan seperti ini akan meningkatkan penghayatan kita dan dengan sendirinya akan memberikan kepada kita pencerahan ruhiyyah, terutama saat kita menghadapi begitu banyak syubuhat (hal-hal yang kabur), atau berhadapan dengan keadaan kritis. Efek dari penghayatan itu akan muncul di saat-saat seperti itu. Dialah yang memberikan kita kepastian, dialah yang juga memberikan kita keteguhan.

Saya kira kita memang memiliki masalah bahasa untuk melakukan tilawah ta-ammuliyyah bagi ikhwah/akhawat yang tidak berbahasa arab. Disamping fakta ini harus disesali (krn dia bahasa ahlul jannah) juga kita harus mengurangi penyesalan ini dengan rajin membaca kitab tafsir yang Alhamdulillah beberapa referensi utamanya sdh diterjemahkan. Kita bersyukur karena gerakan terjemah selama 20 tahun ini luar biasa kemajuannya.

  1. Shalat

Shalat adalah imaduddin atau tulang punggung dari tadayyun (religiusitas) kita. Saya ingin menjelaskan sedikit hal-hal yang aplikatif. Kira-kira jumlah rakaat shalat wajib dan sunnah yang kita lakukan sehari berjumlah 42 rakaat: 17 rakaat shalat 5 waktu, 10 rakaat sunnah rawatib (2 sebelum zhuhur, 2 sesudah zhuhur, 2 sesudah isya dan 2 sebelum subuh), 4 rakaat dhuha, 11 rakaat QL.

Yang faraidh (wajib) kita harus berusaha melaksanakannya dalam keadaan berjamaah di masjid atau di kantor atau di perjalanan, agar kita mendapat penggandaan pahala dan keutamaannya. Lalu berusaha menjaga 10 rakaat yang rawatib tadi dan selalu kita menjadikannya sebagai standar. Shalat dhuha saya kira tidak terlalu sulit bagi kita melakukannya karena masih segar di pagi hari.

Tentang QL: kita hidup di era yang tidak terlalu normal, sebagian waktu kita ditentukan oleh orang lain sehingga kita tidak bisa tidur seperti yang disunnahkan oleh Rasulullah saw di awal malam. Faktor-faktor yang membuat kita bisa tahajjud seperti yang disebutkan oleh Imam Ghazali dalam Al-Ihya seperti qailulah misalnya hampir kita tidak bisa melaksanakannya. Juga kemacetan di kota dll. Ada anjuran yang baik dari ust Salim bahwa witir yang biasa kita lakukan tiga rakaat langsung saja kita laksanakan 11 rakaat. Sehingga kita bisa menggenapkan 42 rakaat dalam sehari.

Ikhwah sekalian sebenarnya yang penting dari ibadah-ibadah ini adalah al-muwazhabah (kesinambungan). Misalnya jika kita belum kuat shalat qiyam dengan waktu dan bacaan yang lama, lakukanlah terus menerus meski dengan surat-surat pendek, terus menerus. Nanti secara perlahan-lahan kita pasti akan menemukan kekuatan-kekuatan baru sambil jalan untuk melakukannya lebih lama. Kalau kita tidak bisa melakukan 11 rakaat, witirnya kita tambah dari 3 menjadi 5 rakaat, naik menjadi 7 dan seterusnya. Sekali lagi yang penting adalah kesinambungan. Insya Allah kalau kita melaksanakan tilawah dan shalat secara berkesinambungan seperti ini kita akan mempunyai tingkat stabilitas ruhiyyah yang bagus.

  1. Dzikir (muthlaq)

Yang saya maksudkan adalah dzikir mutlak, kalau wazhifah kubra/ al-ma’tsurat saya piker antum semua sudah tahu. Imam Syahid berijtihad mengumpulkan doa-doa yang bertebaran dari sekian banyak hadits dikumpulkan jadi satu dan dianjurkan untuk dibaca pagi dan petang.

Seandainya karena kesibukan dan lain-lain kita tidak sempat melakukannya, secara umum penggantinya adalah dzikir mutlak ini, misalnya istighfar yang kit abaca seratus kali atau seribu kali, la ilaha illallah seratus atau seribu kali. Dzikir mutlak ini yang kita perbanyak sehingga ini yang mengimbangi wirid-wirid yang kita baca dalam sehari.

Sebenarnya dzikir ini adalah tools untuk menjaga ingatan kita kepada tujuan akhir.

Inilah 3 wasail utama tarbiyah ruhiyyah, mudah-mudahan memberikan kita energi untuk memikul beban dan energi utk melawan musuh insya Allah.

Rata-rata kita sudah terlibat dalam tarbiyah 15 atau 20 tahun, dan dari sisi umur rata-rata kita yg hadir ini juga tidak bisa disebut muda lagi. Kalau kita melihat bahwa umur ummat Rasulullah saw itu antara 60 sd 70 th, maka kita sudah memasuki sepertiga terakhir. Kalau kita melihat hal ini dan lingkungan hidup seperti sekarang ini, hampir bisa dipastikan bahwa kita tidak bisa melakukan amal-amal besar kecuali satu atau dua saja. Umur 0-20 manusia paling kuat perkembangannya pada aspek fisik, mencapai puncaknya di usia 20-an, 20-an sd 40 adalah puncak pencapaian intelektual, 40 – 60 adalah sisi ruhiyahnya. Persimpangan 40-an ini ketika fisik kita masih kuat, intelektualitas mencapai puncaknya, kita sedang memasuki fase spiritual yang kuat. Biasanya ini disebut sebagai tahun-tahun kematangan sekaligus fase terakhir dari hidup kita. Jadi kita kalau kita menggeluti sesuatu seperti tarbiyah ini dari usia 20-an sampai usia 40-an, maka fase 40-an ini adalah “golden age” dari seluruh pencapaian hidup kita semuanya. Kira-kira seperti firman Allah swt:

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (٢٢)

Dan tatkala dia (Nabi Yusuf) cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Oleh karena itu kita berharap di dalam fase hidup ini kita bisa melakukan sesuatu yang besar atau saya sering mengistilahkan dengan amal unggulan yang kita harapkan bisa mengantarkan kita ke surga. Penting agar ini menjadi kesadaran individual kita semua bahwa kita sedang memasuki sepertiga terakhir dari perjalanan hidup kita dan mesti ada pencapaian yang benar-benar besar sekali lagi yang bisa mengantarkan kita ke surga. Semoga bermanfaat.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 Oleh : M. Anis Matta, Lc

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Optimisme Bagian dari Kemenagan

“Dan janganlah kamu merasa hina dan janganlah kamu bersedih padahal kalianlah yang paling tinggi jika kalian beriman”. (Ali Imran : 139)

“Dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tidak orang berputus asa itu melainkan kaum yang kafir”. (Yusuf : 87)

Rasulullah saw. bersabda:

قال الرسول ص م : ” إنّ الله يحب الفألً و يكرهُ التساؤُم”

“Sesungguhnya Allah mencintai sikap optimis dan membenci sikap putus asa”

Dalam kelelahan, ketegangan dan kekalutan, kaum muslimin masih memiliki secercah harapan meraih kemenangan. Itulah yang terjadi pada saat kaum muslimin dikepung oleh pasukan Ahzab. Bahkan dalam situasi yang menegangkan dan jauh dari perhitungan untuk menang itu, mereka masih berkata:

“Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Maha Benar Allah dan Rasul-Nya. Tidaklah bertambah dalam diri mereka kecuali keimanan dan kepasrahan pada Allah swt.”

Dalam kesiapan penuh, menghadapi kepungan musuh dan kondisi medan yang begitu berat, Rasulullah saw. memompa semangat dengan menjanjikan bahwa mereka akan dapat menundukkan Romawi, Persia, Iskandariyah dan negeri-negeri lainnya.

Akhirnya kaum muslimin mendapatkan kemenangan pada perang Ahzab tersebut tanpa pecahnya peperangan lazimnya, dan Allah swt. membuktikan janji-Nya menaklukkan negeri-negeri besar pada masa pemerintahan Umar bin KhathabRA. Lihatlah pula nasihat yang teduh bagai air di padang pasir, taujih dan janji Rasulullah saw. yang amat menyejukkan hati keluarga Ammar bin Yasir:

“Sabarlah wahai keluarga Yasir tempat yang dijanjikan Allah bagimu adalah syurga.”

Seuntai kalimat dari seorang murabbi, pemimpin mampu meredam sakitnya penderitaan, menahan gejolak kesakitan dan membangkitkan semangat berbuat, meski tidak dapat merayakan kemenangan.

Perjalanan hidup umat teladan, hendaknya menginspirasi aktifitas yang kita lakukan saat ini. Betapa banyak pengalaman mereka dapat kita jadikan cermin hidup agar rambu-rambu perjalanan menjadi jelas dan terang. Seperti jelasnya perjalanan generasi terbaik dalam sejarah umat ini sehingga mereka mendapatkan harapannya di dunia dan akhirat tanpa takut kerugian sedikit pun.

Kemenangan umat terdahulu banyak kita temukan bermula dari optimisme yang tinggi untuk meraih kemenangan. Optimisme yang stabil menghantarkan mereka cepat atau lambat menuju kegemilangan. Karena optimisme bagian dari kemenangan itu sendiri. Baik kemenangan di dunia ataupun di akhirat. Optimisme orang-orang beriman sangat melekat pada jiwanya karena mereka yakin akan firman Allah:

Bahwa mereka bersama Allah swt. Dengan kebersamaannya itulah mereka meyakini perbuatannya, proses dan prosedurnya serta keberhasilannya mencapai kesuksesannya.

Dengan optimisme itu segala yang berat menjadi ringan, yang susah menjadi mudah dan yang rumit menjadi sederhana.

Ketika optimisme sudah merasuk ke jiwa maka dorongan besarlah yang muncul, dorongan untuk melakukan sebuah cita-cita agar meraih kejayaan. Ketika seorang sahabat bertanya pada Rasulullah saw.:

“Bagaimana nasib saya bila maju ke medan peperangan yang sedang berkecamuk itu’, beliau menjawab: ‘kamu akan mendapatkan syurga’ maka sahabat itu segera maju ke depan bahkan membuang kurma yang sedang dikunyahnya seraya bergumam: ‘ini akan memperlambat saya mendapatkan syurga.” Subhanallah begitulah sebagian dari kisah generasi teladan.

Saat optimisme membumbung tinggi dalam sanubari seorang mukmin,  ia akan bergerak, bersikap, berjalan dan berkorban meskipun ia belum tentu dapat merasakan nikmatnya kemenangan. Karena sesungguhnya, dengan jiwa optimis itu mereka sudah mendapatkan kemenangan yang sesungguhnya. Paling tidak ia terdorong untuk memberikan sumbangsih mulianya demi keyakinan yang ia imani. Ia berharap agar Allah swt mencintai sikapnya dan ridho dengan perjuangannya:

إنّ الله يُحِبُّ الفَألَ و يَكْرَهُ التََّسَاؤُم

Saat ini, hal-hal yang menghadang perjalanan kita menuju kejayaan amatlah banyak. Rintangan, gangguan cobaan datang silih berganti. Baik yang datang dari eksternal maupun internal umat, bahkan yang muncul dari diri sendiri. Sepertinya mereka tidak pernah lelah dan berhenti. Mereka tidak menghendaki kemenangan ada di tangan kita. Apabila kita pun lelah dan jenuh menghadapinya, maka selamanya kita tidak akan pernah mencicipi rasa kemenangan itu.

Tatkala kita lelah,  muncul bisikan-bisikan nista sambil mengatakan untuk apa berkorban. Apakah pengorbanan yang kamu lakukan akan kamu dapati hasilnya? Apakah pengorbanan itu akan kita rasakan. Jangan-jangan kita yang berkorban malah orang lain yang menikmatinya?

Dan sedihnya lagi apa yang sudah kita lakukan akan dipungkiri dan digugat. Mereka juga akan menutup mata pada apa yang kita perbuat.

Bisikan-bisikan ini sering kali mampir di telinga kita. Seakan-akan mereka ingin menyetop lajunya langkah kaki-kaki kita.

Imam Hasan Al Banna berpesan kepada kita:

الإمام الشهيد: ” لاَ تَيْأسُوا فَلَيْسَ اليَأْسَ مِنْ أَخْلاَقِ المُسْلِمِيْن… فَإِنَّ حَقَائِقَ اليَوْمِ أَحْلاَمُ الأَمْسِ… وَ أَحْلاَمُ اليَوْمِ حَقَائِقُ الغَدِ.

“Janganlah kalian berputus asa karena putus asa bukanlah akhlak muslim. Sesungguhnya realita hari ini impian kemarin dan impian hari ini adalah realitas hari esok.”

Gangguan yang menggelayuti kita mesti kita hadapi, karena kita mempunyai iman, kita mempunyai keyakinan dan kita bersama keberkahan Allah swt. Dan itu berangkat dari jiwa optimis yang ada dalam diri kita.

Marilah kita hayati dan yakini sabda Rasulullah saw. Di saat menghantarkan para sahabat dalam perang ahzab:

فَسِيْرُوا بِبَرَكَةِاللهِ وَانَتُمْ فَائِزُون

“Berangkatlah kalian dengan keberkahan Allah, maka kalian akan menang.”

Imam Al Banna pun berpesan:

وَعَلىَ هَذِهِ الدَعَائِمِ القَوِيَّةِ أَسِسُوا نَهْضَتَََكُم وَ أَصْلِحُوا نُفُوسَكُم وَ رَكِّزُوا دَعْوَتََكم و قوُدَوا الأمَّةَ إِلىَ الخَيْرِ، وَاللهُ مَعَكُم وَلَنْ يَتِرَكُم أَعْمَالَكم..

“Di atas tonggak yang kokoh, bangunlah kebangkitan kalian, perbaiki jiwa kalian,  fokuskan dakwah kalian dan pimpinlah umat menuju kebaikan, niscaya Allah bersama kalian dan tidak akan menyia-nyiakan amal kalian.”

 Oleh : Anonim

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Syarat Kemenangan Dakwah

Kemenangan Islam adalah janji pasti dari Sang Maha Suci. Kemenangan itu akan diberikan ketika umat ini telah siap meraihnya. Kemenangan itu bukanlah dongeng, bukan pula janji palsu. Karena janjiNya adalah kepastian yang tidak ada satupun makhuk yang bisa menolaknya. Bahkan, ketika kuasaNya telah berlaku, meskipun seluruh makhluk bersatu padu untuk menolaknya, niscaya apa yang mereka lakukan itu akan sia-sia.

Lantas, mungkinkah kemenangan itu ‘digratiskan’ begitu saja? Sekali-kali tidak! Harus ada upaya pasti dari para pengemban dakwah Islam demi terwujudnya janji Allah itu, kemenangan Islam. Ada beberapa sebab yang bisa kita lakukan sehingga janji Allah itu segera terwujud. Sebab-sebab itu haruslah kita sertakan dalam tiap jenak perjuangan dakwah.

Pertama, Niat yang Ikhlas. Dalam berjuang demi tegaknya Islam, yang pertama kali harus dilakukan adalah meluruskan niat. Niat hendaknya hanya untuk Allah dan RasulNya. Bukan untuk dunia atau wanita-wanita yang diingini, pun dengan aneka macam harta dan atribut duniawi lainnya.

Niat ikhlas itu, diantaranya adalah untuk menolong Agama Allah. Karena siapa yang menolong AgamaNya, pastilah akan ditolongNya. Firman Allah, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” Maka, perjuangan yang kita lakukan, dakwah yang selalu menjadi nafas kehidupan kita, mestilah diniati ikhlas, untuk menolong agama Allah. Agar ia tegak. Setegak-tegaknya. Bukan untuk tujuan selainnya.

Kedua, Taat kepada pemimpin. Keberadaan pemimpin dalam sebuah komunitas yang memperjuangkan Islam adalah niscaya. Pemimpin ini hendaknya adalah orang yang faqih, takut kepada Allah, ikhlas dan mengetahui strategi yang jitu dalam menyampaikan ajaran-ajaran Allah. Ia bukanlah orang yang haus kepada dunia, atau hanya mementingkan keuntungan kelompoknya. Pemimpin ini adalah pemimpin yang orientasinya akhirat.

Pemimpin yang sesuai kriteria itu, bukanlah satu-satunya syarat. Karena pemimpin, sehebat apapun akanlah sia-sia jika tidak ditaati oleh yang dipimpinnya. Maka, ketaatan yang benar kepada pemimpin yang tepat adalah niscaya demi menangnya Dakwah Islam. Ketaatan tersebut pastilah mendatangkan pertolongan Allah, sehingga dakwah Islam benar-benar mencapai puncaknya. Dalam surat Al Anfal ayat 46, Allah berfirman, “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Dari ayat tersebut kita dapati sebuah kesimpulan bahwa ketaatan adalah keniscayaan bagi sebuah kemenangan.

Dalam kaitannya dengan taat, rujukannya tentulah Al Qur’an dan Sunnah. Sehingga ketaatan yang bersumber pada selain keduanya adalah bathil. Ketaatan di jalan dakwah, hanyalah untuk Allah dan RasulNya. Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, kepada siapapun. Meskipun kepada kedua orang tua atau orang-orang yang kita cintai sekalipun. Terlebih lagi kepada pemimpin-pemimpin yang tidak sesuai syari’at. Maka, dalam sebuah perjuangan harus ada kontrol dari prajurit  kepada pemimpin. Sehingga ketika pemimpin menyimpang dari garis perjuangan, para prajurit  bisa langsung mengingatkan.

Ketiga, Sabar dan Bersiap siaga. Jangan maknai sabar dengan berdiam diri. Sabar maknanya menahan sembari terus berupaya. Menahan dalam makna tetap bergerak seperti apa yang diinstruksikan pemimpin, meski kadang tidak sesuai dengan keinginan dan pendapat diri. Bersamaan dengan sabar, persiapan tentunya harus senantiasa dilakukan. Persiapan dalam semua maknanya. Baik fisik, ruhani maupun finansial. Karena Perjuangan dakwah  adalah kontribusi dari setiap aspek yang kita miliki. Maka kita harus siap ketika dakwah meminta nyawa kita untuk melawan musuh-musuh islam sebagaimana yang dilakukan oleh saudara kita di Palestina dan negeri negeri muslim terjajah lainnya.

Terkait dengan sabar dan bersiap siaga, Allah berkali-kali mengingatkan kita dalam Kitab SuciNya, “Jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda.” (Ali Imran : 125). Dalam ayat lain disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”(Ali Imran : 200). Ayat ini merupakan jaminan dari Allah. Bahwa ketika para pejuang dakwah sennatiasa bersabar dan bersiap siaga, maka Allah akan menurunkan pertolonganNya. Pertolongan tersebut bisa berupa diturunkannya pasukan malaikat dan keberuntungan bagi para pejuang. Ini, adalah janji Allah yang tidak mungkin diingkari. Maka, ketika sampai sekarang pertolongan Allah belum nampak terbitnya, bisa jadi kesabaran kita masih sangat minim, persiapan kita juga seadanya.

Senada dengan ayat dia atas, Allah kembali menegaskan janjiNya ketika kita telah menguatkan kesabaran dalam berdakwah. Firman Allah dalam surat Al Anfal ayat 66, “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” Hal ini sebagaimana terjadi dalam perang badar dan peperangan-peperangan kaum muslimin melawan kafirin lainnya. Ketika kaum muslimin bersabar, maka Allah pasti menolong mereka. Begitupun sebaliknya.

Ke-empat, Tsabat (Berteguh Hati). Berteguh hati bisa dimaknai sebagai membulatkan tekad. Menyuburkan niat yang telah diikrarkan di awal dakwah. Ia harus senantiasa dilakukan agar dakwah tidak kehilangan orientasinya. Langkah ini, mirip dengan pupuk bagi sebuah tanaman. Berteguh hati diperlukan agar tanaman niat itu makin subur sehingga menemukan momentum kemenangannya.

Dalam hal ini, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” Ayat 45 surat Al Anfal tersebut merupakan sebuah kaidah perjuangan ketika kita telah memasuki gelanggang perjuangan. Karena ketka itu, kita tidak bisa mundur lagi. Mundur berarti mati atau kalah. Maka, maju adalah keharusan. Dan bisa tidaknya maju sangatlah ditentukan oleh adanya keteguhan hati para pejuang dakwah.

Kelima, Tawakkal kepada Allah. Tawakkal bermakna menyerahkan hasil kepada Allah setelah kita berdarah-darah dalam berjuang. Ia bukan pasif, melainkan sikap aktif seorang pejuang dakwah dalam setiap tindakan. Maka, tawakkal yang benar dilakukan setelah berusaha. Tawakkal merupakan kesadaran tertinggi akan ke-Maha Kuasa-an Allah. Karena sehebat apapun kita, secanggih apapun strategi dakwah yang kita jalankan, pastilah sangat tidak mungkin mengungguli ke-Maha Kuasa-an Allah. Apa yang kita lakukan hanyalah sarana untuk menyambut kemenangan itu. Sedangkan penentu kemenangan, adalah hak prerogatif Allah.

Dalam surat Al Maidah ayat 23 disebutkan, “ Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” Ayat ini, maknanya , “ Jika kamu beriman maka bertawakallah dan jika kamu tidak bertawakkal, maka pertanyakan keimananmu.” Tawakkal setelah berusaha, adalah jaminan kemenangan dari Allah. Karena tawakkal berarti percaya sepenuhnya akan keMaha Kuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’alaa.

Keenam, Hindari perselisihan. Kelima kiat di atas merupakan kiat yang mesti dilakukan oleh masing-masing prajurit dalam dakwah. Ia sangat tergantung pada letak kematangan setiap personil. Setelah tiap individu sudah matang, maka ada yang mesti dilakukan terkait hubungan dengan sesama prajurit. Hal yang mesti dilakukan adalah menghindari berbantah-bantahan antara mereka. Firman Allah dalam surat Al Anfal ayat 45, “ Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Berbantah-bantahan dalam ayat ini, disinyalir sebagai salah satu sebab gagalnya dakwah. Ia merupakan wujud masih adanya egoisme dalam diri seseorang. Sangatlah mustahil diperoleh kemenangan ketika masing-masing prajurit masih saja mementingkan pendapat sendiri di atas pendapat jama’ah. Egoisme inilah yang memungkinkan pasukan terpecah belah. Maka, sangatlah mustahil kemengan itu datang ketika pasukan yang maju ke medan laga tidak bersatu, sementara musuh yag dihadapi sangat solid.

Ketujuh, Doa dan dzikir. Ini adalah langkah terakhir. Setelah langkah-langkah sebelumnya  yang melelahkan itu, maka terakhir adalah memasrahkan kepada Allah atas setiap upaya kita. Kepasrahan itu berbentuk doa dan dzikir.

Doa adalah senjata kaum mukminin. Doa merupakan pangkal dari ibadah. Doa, adalah bentuk kebutuhan seseorang kepada Penciptanya. Doa adalah sebuah bentuk ketersambungan antara hamba dengan Robbnya. Doa, adalah jaminan pengabulan dari Allah jika yang meminta adalah hambaNya.

Doa dalam ‘peperangan’ dakwah bisa bermacam ragamnya. Sebagai contoh, kita bisa mendapatinya dalam surat Al Baqoroh ayat 250, “Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa: “Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” Doa ini adalah doa terbaik yang Allah ajarkan.

Dalam doa tersebut, tentara Thalut tidak meminta agar diberi kemenangan secera langsung. Melainkan yang mereka minta adalah kesabaran dan keteguhan hati serta minta tolong. Ini adalah bentuk ketidakberdayaan hamba kepada Penciptanya. Maka, kita dapati tentara Thalut berhasil memenangkan peperangan memenangkan Jalut. Dalam kasus ini, Allah mengganjar doa mereka dengan kemenangan yang gemilang.

Dalam kasus lain, kita mendapati doa yang sama. Doa ini terdapat dalam surat Ali Imran ayat 147, “ Tidak ada doa mereka selain ucapan: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” Ini adalah doa yang selalu dipanjatkan oleh prajurit dakwah yang berperang bersama nabi mereka dalam setiap peperangan.

Redaksi doa ini sangatlah unik, karena yang diminta adalah ampunan dari Allah atas dosa yang telah dilakukan. Ini adalah alasan yang sangat tepat, karena sejatinya kemenangan dakwah diberikan lantaran ketaqwaan para pengemban dakwah. Dan, kekalahan dakwah, sebab utamanya dalah dosa yang selama ini menumpuk dan tidak di-istighfari. Maka, sebaiknya kita berkaca diri. Karena bisa jadi, belum menangnya dakwah bersebab dosa- dosa kita sehingga Allah belum mewujudkan janjiNya. Mari Istighfari dosa-dosa kita, agar janjiNya segera terwujud. Astaghfirullahal ‘Adhiim.

Maka, benarlah apa yang diwasiatkan oleh Umar bin Khattab. Setiap kali berangkat ke medan pertempuran, pesan yang disampaikan oleh beliau adalah, “ Jangan sekali-kali berbuat maksiat. Sekecil appaun. Karena dosa yang kita lakukan akan menghambat datangnya pertolongan Allah.” Mari berdoa agar Allah mengampuni kita dari dosa yang telah tercatat. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita, yang sengaja atau tidak, yang besar maupun yang kecil. Semoga Allah kabulkan doa-doa kita. Amiin

Terakhir, bahwa kemenangan dakwah itu niscaya. Ia adalah janji Allah yang tidak mungkin diingkari. Maha benarlah firmanNya, “ Pertolongan Allah dan kemenangan itu dekat.” Ya. Kemenangan dan pertolongan Allah itu dekat. Sedekat upaya kita untuk menyambutnya. Maka, kita akan tersenyum ketika janjiNya benar-benar terwujud, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”  (An Nashr  1-3)

Dakwah pastilah menang, dengan atau tanpa kita. Maka, keterlibatan kita dalam dakwah adalah pilihan. Silahkan memilih, hendak jadi penonton, pemain, atau sekedar komentator dakwah. Semoga Allah berkenan menjadikan kita sebagai bagian dari pelaku kemenangan dakwah itu. Aamiin.

 Oleh : Anonim

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Makna Kemenangan di Jalan Perjuangan

“Jika telah sempurna bagimu wahai Rasul kemenangan atas kaum kafir Quraisy dan sempurna bagimu penundukan kota Mekah.” (QS. An-Nashr: 1) (Sumber: At-Tafsir Al-Muyassar)

Ayat ini berbicara tentang apabila kemenangan itu tiba. Sebuah ‘impian’ yang selayaknya selalu terbayang di benak pejuang. Seberapapun pahit dan beratnya jalan juang, kemenangan tak boleh hapus dari ingatan. Sebab, demikianlah adanya janji yang Allah Ta’ala nyatakan dalam Al-Quran, juga yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sampaikan bagi setiap muslim yang teguh berjuang; Gemilang kemenangan, bukan pedih kekalahan.

Bahkan dalam perang Ahzab, saat kondisi sangat genting, musuh di depan berkolaborasi dan orang dekat siap menikam penuh benci, justeru Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan bahwa dirinya ‘Diperlihatkan singgasana Romawi dan Persia’ sebagai isyarat bahwa kedua kekuatan raksasa ketika itu akan mereka tundukkan. Betapa Rasulullah saw selalu menghembuskan aura kemenangan, bukan bayang-bayang kekalahan yang menghantui pikiran.

Hal ini tentu bukan utopia, atau sekedar pelipur lara. Tapi keyakinan kuat tentang tabiat perjuangan, bahwa benarnya jalan yang dijalani, kerja keras yang tak pernah henti, sabar dan tabah menghadapi cobaan silih berganti dan penyandaran pada Kuasa Allah yang tak tertandingi, kan berujung pada kemenangan yang sudah pasti.

Terlebih, kemenangan yang disebutkan dalam ayat di atas langsung disandingkan kepada Allah Ta’ala sebagai “kemenangan Allah” . Setidaknya ada 3 makna yang dapat disimpulkan dari ungkapan tersebut;

1- Kemenangan ini bersifat pasti. Karena dia milik Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa. Siapakah yang mampu menghalangi jika Dia sudah tetapkan kemenangan-Nya? Hal ini memberi arti bahwa kemenangan itu sesungguhnya telah Allah setting sedemikian rupa. Sebagaimana ungkapan Sayid Qutub tentang kemenangan dalam Tafsir Dzilal-nya terkait ayat pertama An-Nashr ini;

“Ini adalah kemenangan Allah yang Dia hadirkan; Pada waktu yang Dia tetapkan, dalam bentuk yang Dia inginkan, dan dengan tujuan yang Dia gariskan.”

Ibarat sebuah skenario yang sudah lengkap, dia hanya membutuhkan pemeran yang siap memainkannya dengan prima. Maka tugas seorang dai, mujahid, aktifis dakwah dan siapa saja yang berjuang di jalan Allah, hanyalah bagaimana mereka menjadi pemeran terbaik dalam lakon ini.

2- Tertutup segala celah kesombongan dan tindakan sewenang-wenang dalam menyikapi kemenangan. Sebuah kesadaran yang sangat halus dibangun dalam jalan perjuangan, bahwa walaupun kita diwajibkan berjuang keras, dan sebesar apapun kekuatan dan potensi yang dikerahkan, tetaplah kemenangan milik Allah, karena memang di tangan-Nyalah segala ketentuan itu berlaku. Rasa syukur, tunduk, dan memuliakan Allah, hendaknya merupakan suasana yang mendominasi jiwa saat sang pejuang meraih kemenangan. Itu sebabnya di akhir surat ini, kemenangan gemilang hendaknya disambut dengan tasbih, tahmid dan istighfar.

Jika kesadaran ini tidak dimiliki, kemenangan lambat laun hanya akan menggiring orang-orang yang dahulunya berjuang menentang kezaliman dan kesombongan, justeru akan menjadikannya sebagai aktor kezaliman dan kesombongan itu sendiri pada giliran berikutnya. Ironis memang! Tapi memang demikian nyatakan, tidak sedikit mereka yang diperangi karena kezalimannya dan kediktatorannya, dahulunya adalah pejuang anti kezaliman dan kediktatoran itu sendiri!

3- Karena kemenangan adalah milik Allah, Dialah yang paling berhak menentukan untuk apa kemenangan itu digunakan. Pada hakekatnya, kemenangan adalah sarana untuk meraih kemenangan yang sesungguhnya, yaitu ketundukan seorang hamba di hadapan kekuasaan Allah Ta’ala. Kemenangan bukanlah arena balas dendam, menumpuk kekayaan, melampiaskan keangkuhan dan mempertontonkan kekuasaan. Tapi kemenangan adalah untuk menciptakan suasana kondusif agar masyarakat dapat mengekspresikan ketundukan dan penghambaannya kepada Allah Ta’ala tanpa ada yang mengusik dan agar dakwah Islam tidak menemukan penghalang dan ancaman untuk disampaikan kepada segenap lapisan.

Maka sebenarnya, dalam konteks ini, selagi seorang muslim komitmen di jalan Allah, apalagi jika dia berjuang untuknya, sesungguhnya dia sudah meraih kemenangan pribadi di hadapan Allah Ta’ala, apapun kondisi yang menimpa dirinya, bahkan walau ketika nyawa menjadi taruhannya. Hal inilah yang dipahami oleh seorang sahabat bernama Harom bin Milhan, paman Anas bin Malik radhiallahu’anhuma, pada detik-detik terakhir kehidupannya, ketika dirinya berlumuran darah akibat tikaman musuh saat beliau menunaikan tugas dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dengan lugas dia berkata, “Aku telah menang, demi Tuhan Ka’bah.” (Muttafaq alaih)

Riyadh, Rabi’ul Tsani, 1434 H.              

Oleh : Anonim

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Rahasia di balik Orang Beramal dan Berharokah

Manusia diciptakan Allah SWT atas suatu fitrah (Q.S. 30).

Fitrah itu gambarannya mirip dengan seseorang yang haus, maka ia akan berusaha mendapatkan air guna mengusir rasa dahaganya. Dan selama belum mendapatkannya, ia akan terus mencari dan mencari sehingga mendapatkannya.

Dan fitrah manusia yang paling kuat  adalah fitrah untuk menghambakan diri kepada-Nya, istilah jawanya : fitrah untuk ngemawula. Maksudnya : merendahkan diri serendah-rendahnya, mengekspresikan keperluan dan kefakirannya, menangis, meratap, memuja, memuji dan menumpahkan segala rasa rindu, perlu, hajat, pasrah, memelas, memohon disertai dengan rasa cinta yang sepenuhnya kepada Allah SWT.

Jika seorang manusia belum atau tidak pernah menumpahkan semua rasa ini, ia akan selalu diliputi “rasa haus” dan baru hilang “dahaga” hatinya jikalau sudah menumpahkan semua rasa ini kepada-Nya.

Fitrah seperti inilah yang mendorong manusia bekerja dan terus berharakah untuk dapat meraih ridha Tuhannya, terus berupaya mempertahankan posisi diridhai ini dan bahkan terus menerus meningkatkan amal dan harakahnya agar semakin dekat dan semakin dekat lagi. Istilahnya adalah taqarrub (terus menerus berusaha mendekatkan diri kepada-Nya)

Jika upaya personal dan individualnya ini merasa terancam oleh lingkungannya, maka ia pun lanjutkan kerja dan harakahnya untuk mendakwahi lingkungannya, mempengaruhi mereka agar mengikuti jejaknya.

Jika lingkungan kecilnya terancam oleh lingkungan yang lebih besar, maka ia dan lingkungan kecilnya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempengaruhi lingkungan yang lebih besar tersebut.

Kesungguhannya (jihadnya) terus ditingkatkan agar suasana ngemawulo pada lingkungan yang agak besar ini tidak terancam oleh lingkungan yang lebih besar lagi dan begitu seterusnya, hatta la takuna fitnatun wa yakuunad-dinu kulluhu lillah (Q.S. Al-Anfal: 39).

Menariknya adalah kalau manusia menjalankan semua kerja, harakah dan jihad tadi karena kesadarannya akan fitrahnya, maka di situlah puncak kesenangannya, bahkan puncak kenikmatannya, ibaratnya, ya seperti orang kehausan tadi, yang lalu menemukan air yang segar, maka cepat-cepat ia akan menghirupnya, lalu diapun berkata: “ennaaaak tenaannn”, alhamdulillahilladzi hadana lihadza, wama kunna linahtadiya lauwla an hadanaLlah (Q.S. Al-A’raf: 43).

Wallahu a’lamu bish_shawaab.

Oleh : Ust. Musyafa’ Ahmad Rahim, Lc.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

9 Prinsip Dakwah dalam Surat Yasin

 

Dakwah di jalan Allah adalah sebuah pekerjaan mulia yang memiliki Prinsip-Prinsip yang telah ditetapkan oleh Sang Maha pemberi titah (Allah SWT) agar perjalanan dakwah yang kita lakukan tepat sasaran dan tidak terjebak pada kepentingan sesaat (Pragmatisme). Oleh karenanya arahan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dapat dijadikan sebagai batu pijakan yang kokoh bagi para kader dakwah untuk mensukseskan langkah-langkah dakwahnya.

وَجَاء مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ

36.20. Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu”.

اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ

36.21. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

 

Didalam surat Yasin ayat 20 dan 21 terdapat 9 point tersirat tentang prinsip-prinsip dakwah tersebut :

 

1. Wa Jaa-a’ ( Dan Datanglah )

Sebuah keharusan bagi seorang Da’i untuk datang ( berdakwah), datang menuju tempat-tempat yang memiliki peluang untuk berdakwah,datang karena panggilan keimanan saat melihat kemunkaran merajalela, kapanpun dan dimanapun. Tekad yang selalu tertanam dalam jiwa mereka bahwa kedatangan (kehadiran ) mereka adalah untuk melakukan perubahan terhadap berbagai bentuk kebatilan (Kemunkaran). Dalam Surat Al-Isra : 81 Alloh berfiman :

وَقُلْ جَاء الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقاً

17.81. Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.

Dan juga dalam Surat Saba: 49 Alloh berfiman :

قُلْ جَاء الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ

34.49. Katakanlah: “Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi “.

Jika seorang da,i datang /tinggal disuatu tempat maka sudah menjadi kewajiban moral baginya untuk menjadi Agent of Change ( Agen Perubahan ) ditempat tersebut.

 

2. Min Aqshol Madiinah (Dari ujung Kota)

Menggambarkan tentang jauhnya perjalanan yang harus ditempuh dalam melakukan dakwah, Sehingga para dai harus bertadhiyah (berkorban) waktu ,tenaga , dan juga harta dalam perjalanan dakwahnya. meskipun perjalanan dakwah itu dilakukan hanya oleh segelintir orang saja dikarenakan perjalanan dakwah itu terasa amatlah jauh dan melelahkan, namun, walaupun jauh Seorang dai harus tetap melakukan dakwahnya tanpa mengandalkan orang lain. Sebagaimana Firman Alloh dalam Surat At-taubah : 42

لَوْ كَانَ عَرَضاً قَرِيباً وَسَفَراً قَاصِداً لاَّتَّبَعُوكَ وَلَـكِن بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ وَسَيَحْلِفُونَ بِاللّهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ يُهْلِكُونَ أَنفُسَهُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

9.42. Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah : “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.

 

3. Rojulun ( Seorang laki-laki)

Alloh tak menyebut status ,nama, jabatan orang (da’i) yang dimaksud didalam ayat ini , meskipun menurut asbabunnuzul ayat bahwa laki-laki yang dimaksud adalah habib An-nazar.Hal ini memaknai bahwa dakwah bisa dilakukan oleh siapa saja (seseorang) yang memiliki kesadaran ( Al-Wa’yul Harokah) bahwa watawaa shoubilhaq,watawaa shoubisshobr (saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran) adalah kewajiban Insan beriman.Lihat Al-Asr : 2-3

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ

103.2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

103.3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

 

4. Yas’a (Bergegas-Gegas)

Berdakwah dengan penuh kesungguhan (Jiddiyatud Dakwah), tidak berlambat-lambat, atau berleha-leha terhadap agenda dakwah yang telah ditetapkan, atau dengan teganya kita berpangku tangan ketika melihat yang lain sibuk dan bergegas.Alloh berfirman dalam Surat Al-Mu’minun Ayat 61

أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

23.61. mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.

Namun harus juga dibedakan antara bergegas/segera dengan Terburu-buru (Isti’jal), Bergegas adalah Gerak cepat , tepat, dan akurat (Terencana) sedangkan Isti’jal adalah tergesa-gesa tanpa perencanaan,yang tentunya hasilnya akan berbeda.

 

5. Qoola (Ia Berkata)

Berkata dalam pengertian berupaya menyampaikan dakwah dengan lisan (kata-kata) disetiap ada kesempatan berbicara (pandai memanfaatkan momen).. Sehingga setiap Da’i harus melatih kemampuannya di dalam menyampaikan dakwah melalui kata-kata, sebagaimana Nabi Musa yang menginginkan memiliki kemampuan dakwah melalui kata-kata (Orator) , hal ini dapat di lihat dari Do’a yang dipanjatkannya kepada Alloh Azzawajalla. Sebagaimana yang Alloh firmankan dalam surat Thaha : 27-28

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي

20.27. dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku,

يَفْقَهُوا قَوْلِي

20.28. supaya mereka mengerti perkataanku,

 

6. Yaa-Qoumi (hai kaumku)

Adalah Audiens dakwah (Mad’uw) yang jumlahnya banyak dan bertebaran dimana –mana (yang belum tergarap), setiap orang yang jauh dari hidayah Alloh itulah sasaran dakwah kita untuk kita dekatkan mereka kepada Robbnya.

Didalam Alqur’an Surat Almu’min : 38 Alloh berfirman :

وَقَالَ الَّذِي آمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ

40.38. Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar.

 

7. Ittabi’ul Mursaliin ( Ikutilah Utusan-Utusan Itu)

Muatan dakwah yang mengajak Manusia agar menjadi pengikut Alloh dan Rasul ,bukan pengikut kita, untuk menghilangkan Kultus Individu (Figuritas), Prinsip ini menjadi begitu penting untuk diperhatikan seiring dengan maraknya majlis-majlis yang melahirkan kultus individu.Al Quran Surat Al ‘Imran : 79:

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَاداً لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

3.79. Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani , karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.

 

8. Ittabi’uu Manlaa yas’alukum ajro (Ikutilah orang yang tidak meminta balasan kepadamu)

Terkait dengan Shihatul Ittijah (Sehatnya Orientasi), karena tujuan utama dakwah adalah bertransaksi dengan Alloh SWT untuk mencari keridoanNya, Terlindung dari azabnya dan masuk kedalam Syurga yang dijanjikanNya Dengan demikian Seorang dai harus meluruskan niat dakwahnya hanya untuk mencari keredhoan Alloh, bukan untuk tujuan popularitas ataupun tujuan materi dll. Alloh berfirman dalam Al Quran surat As Saff ayat 10-11:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

61.10. Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?

تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

61.11. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

 

9. Wahum Muhtaduun (Dan Mereka adalah Orang yang Mendapat Petunjuk)

Artinya para Da’i ilalloh adalah orang –orang yang didalam dakwahnya selalu berpegang kepada manhaj yang benar ( Al-Qur’an dan Sunnah ) , dan mereka konsisiten berpegang kepadanya, Hujjah-hujjah (Argumentasi) yang dipergunakan adalah Qolalloh wa Qoola Rasuul.

FirmanNya dalam Surat An-najm ayat 4:

إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

53.4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

 

Dalam Surat Yusuf Ayat 108

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

12.108. Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.

Jika 9 Prinsip-Prinsip dakwah diatas di amalkan oleh setiap mu’min, maka tiada tempat yang sepi dari orang-orang yang berdakwah,menyeru manusia kejalan TuhanNya, semoga kita dapat melaksanakannya.

 Wallohu A’lam

Oleh : Anonim

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Belajar dari Burung Hud hud

Seekor burung hud-hud berinisiatif melakukan kerja dakwah. Ia mengintai aktivitas suatu kaum yang dengan sebab kabar itulah, sekumpulan umat mendapat hidayah Allah.

 

وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لا أَرَى الْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ (٢٠)لأعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا شَدِيدًا أَوْ لأذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ (٢١)فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ (٢٢)إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ (٢٣)

 

“Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata, “Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang. Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (An-Naml/27 :22-23)

 

Kisah ini menunjukkan bahwa pada diri seorang prajurit terdapat ciri yaqdzah (selalu sadar akan misi), diqqah (teliti) dalam beramal dan semangat untuk menyadarkan kaum. Hud-hud tidak keluar dari tujuan jamaah dan sarananya, juga tidak melanggar prinsip-prinsip umum atau mengabaikan perintah lainnya yang lebih utama. Tindakan Hud-hud harus dipahami positif, bahwa yang dilakukannya merupakan tindakan memanfaatkan furshah (peluang) untuk menjalankan misi dakwah, bukan untuk tasayyub (lepas control).

Selanjutnya dalam kisah ini juga ditunjukka bahwa pada diri pemimpin terdapat sifat kontrol, ketegasan dan penyelesaian persoalan anggotanya, sekecil apapun persoalan itu dan dilakukan oleh anggota serendah apapun jenjangnya.

Hud-hud telah manfaatkan kecemerlangan berfikirnya untuk mencari berita suatu kaum karena ia berkeinginan menyampaikan risalah Islam dan mengajak mereka mentauhidkan Allah disertai dengan tindakan yang bijak, presentasi yang gemilang serta keberanian dalam mengemukakan uzur.

Seorang dai tentu lebih mulia dari seekor burung Hud-hud yang memiliki inisiatif positif mencari-cari kebaikan. Seorang dai harus lebih terpanggil untuk berinisiatif melakukan perbuatan baik tanpa harus menunggu perintah.

Memandang kepada para pemimpin dakwah bahwa tidak seluruh rencana dan program dapat dikerjakan dan dapat dimutaba’ahi, karena itu pengarahan terhadap semua perintah dan kebijakan adalah lebih diutamakan. Kita dapat menyimak bahwa Nabi Sulaiman as. yang dikuatkan dengan wahyu Allah dan ditundukkan untuknya jin dan burung-burung tidak mampu mengetahui semua perkara dan tidak mampu menyerap semua informasi. Karenanya ia memerlukan sedikit informasi dari burung yang kecil yang secara positif merupakan masukan besar bagi dakwah.

Pengecekkan atas keterlambatan burung Hud-hud. Dengan sikap positif yang pada burung Hud-hud, maka alasannya itu diterima. Di lain pihak, Sulaiman berkata :

قَالَ سَنَنْظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (٢٧)

“Akan kami lihat, apa kamu benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.     (AN-Naml/27 : 27)

Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus menerima alasan keterlambatan tersebut dan membatalkan hukuman yang telah ia janjikan karena alasan yang disampaikan. Alasan burung Hud-hud tersebut mengandung dua kemungkinan: benar atau dusta. Dan kenyataannya kabar burung hud-hud tersebut adalah benar. Dari kabar itulah nabi Sulaiman as. kemudian menyerukan untuk berjihad.

Adanya i’tidzar lilqa’id fi ada’il wajib. Jika kita jadikan kisah ini sebagai amal positif, maka kita akan melihat bahwa dalam pemaafan dan menyampaikan alasan terdapat sesuatu yang berharga, ketika pengetahuan burung Hud-hud memberikan manfaat kepada pemimpin. Bahkan Hud-hud menyampaikan dengan ungkapan naba’yaqin (berita penting dan besar yang diyakini kebenarannya), Keberanian burung Hud-hud untuk berbicara kepada nabi Sulaiman a.s. karena kabar yang dibawanya merupakan kabar penting dan nabi Sulaiman a.s. belum mempunyai kabar tersebut. Kalaulah keterlambatnya tanpa ada hal yang akan ia sampaikan, maka dengan segala kelemahannya ia tidak akan mampu berbicara lantang di hadapan pemimpinnya.

Hudhur (kehadiran) yang dapat menyelamatkan kita dari uzur kita di hadapan pemimpin adalah hudhur da’wi tarbawi. Sejalan dengan semangat meningkatkan diri dan memperbanyak kader baru, maka kita dituntut untuk selalu hadir dalam kerangka aktivitas da’wah dan tarbiya. Boleh jadi seseorang tidak pernah absen untuk hadir di setiap pertemuan, akan tetapi keikutsertaannya tidak membawa inisiatif positif untuk melakukan aktivitas dakwah dan tarbiyah. Karenanya diantara sikap positif seorang pemimpin adalah memperhatikan dan mengontrol binaanya agar kehadirannya dalam dakwah dan tarbiyah tidak pernah absen. Karena  itu kalaupun ia uzur untuk hadir dipertemuan karena alasan syar’i maka tidak serta merta disimpulkan sebagai ketidakhadirannya dalam dakwah, sebelum dilihat kehadirannya pada aktivitas dakwah dan tarbiyah lainnya.

Adapun pelajaran spesifik untuk para pemimpin diantaranya:

  1. Tafaqqudul amiir lil-athba’ (rasa kehilangan seorang pemimpin terhadap pengikutnya). Seorang pemimpin memiliki perhatian terhadap kehadiran binaannya dalam suatu aktifitas.
  2. Akhdzul amri bilhazm (sangat perhatian terhadap perkara). Seorang pemimpin memiliki wibawa di hadapan pengikutnya dengan menyatakan sikap tegasnya.
  3. Muhasabah (evaluasi). Seorang pemimpin harus berinisiatif untuk mengevaluasi proses dan hasil tarbiyah yang ia lakukan.
  4. Tabayyunul ‘udzr (klarifikasi uzur). Seorang pemimpin harus mengklarifikasi alasan keuzuran binaan agar penyikapan yang akan diambil lebih berdampak positif.
  5. Taqdir kulli udhwin (menghargai masing-masing anggota). Sayyid Quthb berkomentar: “burung hud-hud itu satu ekor dari sekawanan burung hud-hud yang lain dan dari sekian banyak burung yang menjadi pendukung kerajaannya”. Seorang anggota betapapun kondisinya harus dihargai sebagai anggota dan tidak boleh dipandang sebelah mata.

 

Terakhir pelajaran yang kita lihat yaitu bahwa dengan kerja yang kelihatannya kecil, hanya sekadar mengetahui keadaan dan kondisi keagamaan suatu kaum, dapat menghasilkan prestasi besar, yaitu keislaman Ratu dan rakyatnya. Karena itu diantara sikap positif seorang da’i adalah tidak meremehkan perkara kecil. Allahu A’lam.

 

Oleh : anonim

 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Empat Kejahatan Orang Tua Terhadap Anak

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat penyayang terhadap anak-anak, baik terhadap keturunan beliau sendiri ataupun anak orang lain. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan bin Ali dan didekatnya ada Al-Aqra’ bin Hayis At-Tamimi sedang duduk. Ia kemudian berkata, “Aku memiliki sepuluh orang anak dan tidak pernah aku mencium seorang pun dari mereka.” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam segera memandang kepadanya dan berkata, “Man laa yarham laa yurham, (barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi).” (HR. Bukhari di Kitab Adab, hadits nomor 5538).

Bahkan dalam shalat pun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang anak-anak dekat dengan beliau. Hal ini kita dapat dari cerita Abi Qatadah, “Suatu ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami bersama Umamah binti Abil Ash –anak Zainab, putri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam—Beliau meletakkannya di atas bahunya. Beliau kemudian shalat dan ketika rukuk, Beliau meletakkannya dan saat bangkit dari sujud, Beliau mengangkat kembali.” (HR. Muslim dalam Kitab Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, hadits nomor 840).

Peristiwa itu bukan kejadian satu-satunya yang terekam dalam sejarah. Abdullah bin Syaddad juga meriwayatkan dari ayahnya bahwa, “Ketika waktu datang shalat Isya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang sambil membawa Hasan dan Husain. Beliau kemudian maju (sebagai imam) dan meletakkan cucunya. Beliau kemudian takbir untuk shalat. Ketika sujud, Beliau pun memanjangkan sujudnya. Ayahku berkata, ‘Saya kemudian mengangkat kepalaku dan melihat anak kecil itu berada di atas punggung Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sedang bersujud. Saya kemudian sujud kembali.’ Setelah selesai shalat, orang-orang pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, saat sedang sujud di antara dua sujudmu tadi, engkau melakukannya sangat lama, sehingga kami mengira telah terjadi sebuha peristiwa besar, atau telah turun wahyu kepadamu.’ Beliau kemudian berkata, ‘Semua yang engkau katakan itu tidak terjadi, tapi cucuku sedang bersenang-senang denganku, dan aku tidak suka menghentikannya sampai dia menyelesaikan keinginannya.” (HR. An-Nasai dalam Kitab At-Tathbiq, hadits nomor 1129).

Usamah bin Zaid ketika masih kecil punya kenangan manis dalam pangkuan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil dan mendudukkanku di atas pahanya, dan meletakkan Hasan di atas pahanya yang lain, kemudian memeluk kami berdua, dan berkata, ‘Ya Allah, kasihanilah keduanya, karena sesungguhnya aku mengasihi keduanya.” (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5544).

Begitulah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersikap kepada anak-anak. Secara halus Beliau mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan anak-anaknya. Beliau juga mencontohkan dalam praktik bagaimana bersikap kepada anak dengan penuh cinta, kasih, dan kelemahlembutan.
Karena itu, setiap sikap yang bertolak belakang dengan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, adalah bentuk kejahatan kepada anak-anak. Setidak ada ada empat jenis kejahatan yang kerap dilakukan orang tua terhadap anaknya.

Kejahatan pertama: MEMAKI DAN MENGHINA ANAK
Bagaimana orang tua dikatakan menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si anak dengan nama yang buruk.
Seorang lelaki penah mendatangi Umar bin Khattab seraya mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar kemudian memanggil putra orang tua itu dan menghardiknya atas kedurhakaannya. Tidak lama kemudan anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas orang tuanya ?” “Betul,” jawab Umar. “Apakah hak sang anak ?”, tanya sang anak. “Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar. “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu. Umar segera memandang orang tua itu dan berkata kepadanya, “Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan agar kita memberi nama yang baik kepada anak-anak kita. Abu Darda’ meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama ayah kalian, maka perbaikilah nama kalian.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab Adab, hadits nomor 4297).

Karena itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kerap mengganti nama seseorang yang bermakna jelek dengan nama baru yang baik. Atau, mengganti julukan-julukan yang buruk kepada seseorang dengan julukan yang baik dan bermakna positif. Misalnya, Harb (perang) menjadi Husain, Huznan (yang sedih) menjadi Sahlan (mudah), Bani Maghwiyah (yang tergelincir) menjadi Bani Rusyd (yang diberi petunjuk). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil Aisyah dengan nama kecil Aisy untuk memberi kesan lembut dan sayang. Jadi, adalah sebuah bentuk kejahatan bila kita memberi dan memanggil anak kita dengan sebutan yang buruk lagi dan bermakna menghinakan dirinya.

Kejahatan kedua: MELEBIHKAN SEORANG ANAK DARI YANG LAIN
Memberi lebih kepada anak kesayangan dan mengabaikan anak yang lain adalah bentuk kejahatan orang tua kepada anaknya. Sikap ini adalah salah satu faktor pemicu putusnya hubungan silaturrahmi anak kepada orang tuanya dan pangkal dari permusuhan antar saudara.

Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehinggi menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian berangkat menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu ?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Hibaat, hadits nomor 3055).

Dan puncak kezaliman kepada anak adalah ketika orang tua tidak bisa memunculkan rasa cinta dan sayangnya kepada anak perempuan yang kurang cantik, kurang pandai, atau cacat salah satu anggota tubuhnya. Padahal, tidak cantik dan cacat bukanlah kemauan si anak. Apalagi tidak pintar pun itu bukanlah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan anak adalah pemacu bagi orang tua untuk lebih mencintainya dan membantunya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rahimallahu waalidan a’aana waladahu ‘ala birrihi (semoga Allah mengasihi orang tua yang membantu anaknya di atas kebaikan).” (HR. Ibnu Hibban).

Kejahatan ketiga: MENDOAKAN KEBURUKAN BAGI SI ANAK
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tsalatsatu da’awaatin mustajaabaatun: da’watu al-muzhluumi, da’watu al-musaafiri, da’watu waalidin ‘ala walidihi (Ada tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang teraniaya, doa musafir, dan doa (keburukan) orang tua atas anaknya).” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1828).

Entah apa alasan yang membuat seseorang begitu membenci anaknya. Saking bencinya, seorang ibu bisa sepanjang hari lidahnya tidak kering mendoakan agar anaknya celaka, melaknat dan memaki anaknya, membodoh-bodohkan kekhilafannya. Sungguh, ibu itu adalah wanita yang paling bodoh. Setiap doanya yang buruk, setiap ucapan laknat yang meluncur dari lidahnya, dan setiap makian yang diucapkannya mustajab (bisa terkabul) lalu menjadi bentuk hukuman bagi dirinya atas semua amal lisannya yang tak terkendali.
Coba simak kisah ini. Seseorang pernah mengadukan putranya kepada Abdullah bin Mubarak. Abdullah bertanya kepada orang itu, “Apakah engkau pernah berdoa (yang buruk) atasnya.” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bin Mubarak berkata, “Engkau telah merusaknya.”
Na’udzubillah! Semoga kita tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang itu. Bayangkan, doa buruk bagi anak adalah bentuk kejahatan yang akan menambah rusak si anak yang sebelumnya sudah durhaka kepada orang tuanya.

Kejahatan keempat: TIDAK MEMBERI PENDIDIKAN KEPADA ANAK
Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”

Perhatian. Itulah kata kuncinya. Dan bentuk perhatian yang tertinggi orang tua kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Tidak memberikan pendidikan yang baik dan maksimal adalah bentuk kejahatan orang tua terhadap anak. Dan segala kejahatan pasti berbuah ancaman yang buruk bagi pelakunya.
Perintah untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah ini diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib memberikan pendidikan kepada anaknya tentang agamanya dan memberi keterampilan untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi, berilah pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Perintah ini diberikan Allah swt. dalam bentuk umum. “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).

Adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam dalam kesibukan, sehingga lupa mengajarkan anaknya cara shalat. Meskipun kesibukan itu adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi anak-anaknya. Jika ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah melanggar perintah Allah di surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) pada usaia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah, hadits nomor 372).

Ketahuilah, tidak ada pemberian yang baik dari orang tua kepada anaknya, selain memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub bin Musa yang berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maa nahala waalidun waladan min nahlin afdhala min adabin hasanin, tak ada yang lebih utama yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)
Semoga kita tidak termasuk orang tua yang melakukan kejahatan-kejahatan itu kepada anak-anak kita. Amin.
Wallaahu a’lamu bish_shawaab.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Relasi Dakwah dan Kekuasaan

Mengamati sejarah para nabi, kita dapatkan ada nabi yang jadi penguasa/pejabat, ada pula nabi yang menyampaikan dakwahnya di depan penguasa. Maka, relasi antara dakwah dan kekuasaan, sebagaimana diungkapkan oleh Abul Hasan An-Nadawi, adalah di antara dua : menyampaikan nilai keimanan kepada orang yg sedang duduk di kursi kekuasaan atau mengantarkan orang beriman pada kursi kekuasaan.

Yang mana saja dari keduanya yang lebih dahulu sampai dan lebih bermanfaat, maka kita menyambutnya dengan gembira, terlepas apakah kita lebih cenderung pada salah satu dari keduanya.

Berlapang dada, apalagi jika saling membantu dan menyempurnakan dalam hal ini, tentu lebih baik, bukan ? Ketimbang saling tuding dan menafikan peran masing-masing.

Moga kita selalu diberikan kefahaman dan keikhlasan serta kelapangan dada dalam setiap langkah dakwah dan kehidupan.

Oleh : H. Abdullah Haidir, Lc

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar