الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ikhwah sekalian, pada tahun ke-4 kenabian saat beberapa sahabat Rasulullah SAW dalam suasana “bercanda” sesama mereka, turun ayat yang menegur mereka:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (١٦)
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (Al-Hadid: 26).
Ini adalah peringatan dini kepada para sahabat yang baru 4 tahun berIslam, karena memang generasi yang akan dibentuk adalah pondasi dari seluruh bangunan Islam yang kita nikmati sampai hari ini, juga adalah generasi yang kuat dari seluruh aspeknya. Ciri utama generasi ini yang menggabungkan kekuatan fisik, kekuatan ruh/iman dan dan pikiran adalah focus yang sangat tajam pada orientasi/tujuan, dan itulah makna khusyu’ yang sebenarnya. Kalau kita melihat ayat yang menegur para sahabat yang dalam suasana bercanda itu menunjukkan bahwa Allah swt ingin agar “sifat kelemahan” ini tidak ada pada generasi yg akan menjadi pondasi bangunan dakwah ini. Belumkah dating saatnya..
Jadi yang dimaksud khusyu’ adalah:
الخُشُوعُ : اَلاِتِّصَالُ الدَّائِمُ بِاللهِ الَّذِي هُوَ غَايَتُنَا (الِاتِّصَالُ الدَّائِمُ بِالْهَدَفِ)
Ketersambungan yang terus-menerus dg Allah swt yang menjadi tujuan kita.
Jadi ada semacam “sense of direction” (perasaan terarah yang terus menerus disertai dg ketekunan, kesungguhan untuk menjadi semua proses mencapai tujuan. Jadi khusyu’ tidak ditandai dengan tampilan yang menunjukkan kita adalah orang yang terus menerus “menunduk”, tetapi ia adalah ingatan yang terus menerus kepada Allah ta’ala, kepada akhirat, kepada tujuan akhir yang membuat kita terus menerus mendapat energy untuk bekerja tanpa henti.
Oleh sebab itu, kalau kita ingin mendefinisikan tarbiyah ruhiyyah dari maraji’ ikhwaniyyah, dan juga turats (warisan) tarbiyah ruhiyyah dari ulama kita yang mereka mengambilnya dari Al-Quran dan Sunnah maka secara sederhana tarbiyah ruhiyyah adalah:
التربية الروحية : فَنُّ الصُّعُوْدِ الْمُسْتَمِرِّ فِي عَالَمِ الْكَمَالِ الْإِنْسَانِيِّ
Seni untuk mendaki secara terus menerus di alam kesempurnaan manusiawi.
Jadi kita ini ibarat mendaki gunung, dan gunung ini gunung kesempurnaan kita sebagai manusia. Proses pendakian itu adalah proses yang terus menerus, semakin kita naik semakin berat situasinya karena oksigennya makin sedikit, bebannya makin banyak. Itu sebabnya Imam Syahid menyebutkan bahwa diantara manusia hanya sedikit yang beriman, dan diantara yang beriman hanya sedikit yg beramal, dan diantara yg beramal hanya sedikit yang berdakwah, dan diantara yang berdakwah itu hanya sedikit yg sabar, dan diantara yang sabar itu hanya sedikit yang benar-benar sampai ke akhir perjalanan. Itu menunjukan bahwa semakin ke atas semakin mengerucut dan semakin sedikit anggotanya. Oleh karena itu Abu Bakar berdoa:
اللَّهُمَّ اْجْعَلْنِي مِنَ القَلِيلِ
Ya Allah jadikanlah aku diantara yang sedikit itu.
Allah juga menyebutkan:
ثُلَّةٌ مِنَ الأوَّلِينَ (١٣) وَقَلِيلٌ مِنَ الآخِرِينَ (١٤)
Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian (Al-waqi’ah: 13-14).
Iman yang kita pelihara di dalam diri kita ini mempunyai dua bentuk ekspresi kekuatan:
(1) الْقُوَّةُ الَّتِيْ نَتَحَمَّلُ بِهَا الْوَاجِبَاتِ والطَّاعَاتِ
(2) الْقُوَّةُ الَّتِيْ نَتَصَدَّى بِهَا الأَعْدَاءَ وَالْإِغْرَاءَاتِ
- Kekuatan yang kita perlukan untuk memikul beban kewajiban dan taat
- Kekuatan yang kita perlukan untuk menghadapi musuh dan juga godaan
Jadi satu sisi dari kekuatan itu kita perlukan untik memikul beban, dan sisi lainnya untuk menghadapi musuh. Karena selama kebenaran dan kebatilan “fii shira’in daa-im” (senantiasa ada dalam konflik abadi), maka kita selamanya akan punya musuh. Al-Quran menyebutkan:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا (٣١)
Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong. (Al-Furqan: 31)
Ayat ini seharusnya menghidupan dalam diri kita apa yg disebut dengan “sense of war” الْحَسَّاسِيّةُ الْحَرْبِيَّةُ hasasiyah harbiyah, bahwa kita senantiasa ada dalam perang, sebagian dari musuh kita adalah setan yang tidak tampak, dan sebagiannya tampak. Dan yang tampak itu lebih keras dari yg tidak tampak, karena bisa lebih sadis. Iblis hanya berbisik-bisik, tetapi setan yang tampak bisa membunuh, memenjarakan dan seterusnya. Tapi tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan diri dari keadaan “mempunyai musuh”.
Dalam dua sisi/ekspresi iman inilah kita harus memfungsikan tarbiyah ruhiyyah itu dalam kehidupan pribadi kita maupun di dalam jamaah. Energi untuk memikul beban dan energi untuk melawan.
Kalau kita membaca buku Madarijus Salikin: ada sisi sebelah kanan kita yaitu “daairah al-wajibaat wal-mustahabbaat” bahwa kita selalu melaksanakan daftar amal-amal yang wajib dan sunnah, sedangkan di sisi kiri kita meninggalkan “daairah al-muharramaat wal makruuhaat” meninggalkan yang haram dan makruh. Nanti kalau kita sudah naik tinggi seluruh waktu kita diisi dengan yang wajib dan sunnah, selanjutnya secara perlahan-lahan kita meninggalkan yang sifatnya mubah supaya semuanya dikonversi menjadi mustahabbaat (yg sunnah/disukai Allah). Dan ini membutuhkan energi yang tidak sedikit, energy utk melaksanakan daftar kebajikan yang begitu banyak. Tetapi pada waktu yang sama kita juga membutuhkan energy untuk melawan, karena waktu kita melaksanakan kewajiban ini kita tidak berjalan mulus, tidak sendirian, ada gangguan. Ada usaha utk mencegah kita melaksanakan kewajiban-kewajiban itu. Usaha inilah yang dilakukan oleh musuh, oleh karena dua sisi keimanan inilah yang harus terus menerus kita picu.
Kalau tarbiyah ruhiyyah itu hanya memberi energy kepada kita untuk melaksanakan kewajiban dan memikul beban tetapi tidak memberi energy utk melawan, pasti ada yang salah dalam proses tarbiyah ini. Begitu juga sebaliknya. Itulah sebabnya kita mengenal istilah “ruhbanun billail wa fursanun bin nahar” , dan itulah dua sisi keimanan. Waktu menjadi ruhban itulah sisi keimanan yang memberinya energy untuk melaksanakan daftar kewajiban yg begitu banyak, saat menjadi fursan itulah sisi keimanan yang memberinya energy untuk melawan.
Jadi ia hanya ada dalam dua warna hidup: ibadah dan perang. Dua hal ini yang memang dihindari oleh tabiat manusia, kita tidak ingin memikul beban dan tidak ingin melawan musuh. Karena pola hidup seperti ini berat, maka kita diajarkan doa dalam al-ma’tsurat:
اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن ، وأعوذ بك من العجز والكسل ، وأعوذ بك من الجبن والبخل ، وأعوذ بك من غلبة الدين وقهر الرجال
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil, dari tekanan hutang dan dominasi kesewenangan orang-orang.
Antum perhatikan urutan doa ini: al-hammu wal hazan itu di dalam hati, inilah racun yang menjadi sumber kerapuhan ruhiyah kita. Nanti penampakkan karakternya pada diri kita ada pada ajz (kelemahan) dan kasal (kemalasan) berhubungan dengan internal individu. Perhatikan selanjutnya al-jubn (sifat penakut) dan al-bukhl (bakhil): ini adalah karakter yang berkaitan dg hubungan social kita, takut menghadapi musuh dan tidak mau berkorban. Jika racun dalam hati itu ada berupa al-hamm wal hazan, dan tampak dalam diri berupa al-‘ajz wal kasal, lalu tampak dalam karakter yang berhubungan dengan relasi social kita yaitu al-jubn wal bukhl, maka penampakan social politik kita secara keseluruhan adalah ghalabatid dayn wa qahrir rijal yaitu ketergantungan ekonomi dan ketergantungan politik, gampang diintimidasi oleh orang lain, tergantung secara finansial kepada orang lain dan gampang diintimidasi. Itulah penampakan umumnya yang berasal dari hati berupa al-hammu wal hazan.
Sekarang insya Allah kita sudah memiliki gambaran tentang pemaknaan tarbiyah ruhiyyah dalam kehidupan jamaah kita. Ikhwah sekalian, setelah kita memasuki dunia politik maka sisi iman berupa sense of war dan energy melawan itu mengambil bentuk dan porsi yang sangat besar. Sisi ini belum kita rasakan betul saat kita masih berada di periode awal dakwah kita. Dan ini yang telah saya jelaskan saat di Makassar tentang makna politik pada sisi prosesnya.
Kalau kita mencoba mengambil intisari dari seluruh konsep, mafahim, manahij, dan juga wasail tarbiyah ruhiyyah yg begitu banyak, kira-kira kita bisa menyimpulkan bahwa factor penguat ruhiyyah dibentuk oleh dua hal:
1- الْمَفَاهِيْمُ الرُّوْحِيَّةُ
2- الأَعْمَالُ التَّعَبُّدِيَّةُ
Pemahaman ruhiyyah dan amalan-amalan ta’abbudiyyah.
Jadi kekuatan ruhiyyah itu dibentuk oleh pemahaman-pemahaman ruhiyyah kita di satu sisi dan di sisi lain oleh amalan-amalan.
Mafahim Ruhiyyah
Jika kita berbicara ttg mafahim ruhiyyah secara sederhana adalah seperti yang disimpulkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-waabil As-Shayyib: bahwa seluruh perjalanan hidup kita sebagai mu’min akan menjadi sempurna ketika kita ada dalam dua kaca mata yang berimbang:
مُشَاهَدَةُ الْمِنَّةِ وَ الاِعْتِرَافُ بِالْقُصُوْرِ
Mempersaksikan semua karunia yang diberikan oleh Allah swt di satu sisi dan di sisi lain adalah pengakuan atas kelalaian-kelalaian kita. Antara apa yg kita persembahkan kepada Allah dengan apa yang diberikan ALLah itu tidak pernah imbang. Kita menerima karunia Allah jauh lebih banyak dari amal yang kita persembahkan kepada Allah swt. Situasi inilah yang membuat kita berada diantara al-khauf wa ar-raja (takut dan berharap), kesadaran yang berkesinambungan bahwa apa yang kita berikan tidak akan pernah bisa mencukupi atau mengimbangi karunia Allah swt.
A’mal Ta’abbudiyyah
Di dalam kesadaran seperti itulah ikhwah sekalian saya ingin mengambil intisari dari wasail/a’mal tarbiyah ruhiyyah itu yaitu focus pada tiga hal yang paling kuat yaitu tilawatul quran, shalat, dan dzikir.
- Tilawatul Qur’an
Ada dua bentuk tilawah:
التِّلاَوَةُ التَّعَبُّدِيَّةُ وَ التِّلاَوَةُ التَّأَمُّلِيَّةُ
Tilawah ta’abbudiyyah (tilawah ritual ibadah) dan tilawah ta-ammuliyyah (tilawah perenungan).
Tilawah ta’abbudiyyah diwajibkan kepada setiap kader 1 juz setiap hari. Saya ingin menjelaskan sedikit secara amaliyah/praktek: kadang-kadang karena kesibukan implementasi tilawah dalam mutabaah di liqa tarbawi kita tidak sempurna, saya kira kita mengalaminya. Saya ingin memperkenalkan istilah nizham al-qadha (system qadha/ganti): kalau tilawah ta’abbudiyyah kita tidak beraturan, tidak bisa 1 juz setiap hari, kita mesti menyediakan waktu sekali dalam seminggu untuk meng-qadha semua kekurangan tilawah pada pekan itu. Atau karena kesibukan yang sangat padat bisa jadi kita meng-qadha utk sebulan, jadi dalam satu tahun kita tetap minimal mengkhatamkan 12 kali. Dan sebaiknya kalau ada hutang tilawah tidak diganti dengan infaq, tetapi diqadha dengan amal yang sama di waktu senggang yang kita sediakan. Ini solusi supaya kita selalu berada dalam kesinambungan.
Yang kedua, sudah saatnya kita memperbanyak waktu utk tilawah ta-ammuliyyah dengan melakukan pendekatan berbasis tematik, kita mulai membaca quran dengan pendekatan ta-ammul (perenungan mendalam), dan mencoba melakukan istilham (mencari ilham/inspirasi) dari AL-Quran ini. Kita mencoba berimajinasi seperti dahulu Muhammad Iqbal melakukannya, dan juga dalam sejarah Imam Syahid sendiri. Waktu beliau membaca Al-Quran, orang tuanya bertanya: “Apa yang kamu baca?” Saya sedang membaca Al-Quran. Lalu orang tuanya mengatakan: “Bacalah Al-Quran itu seolah-olah ia diturunkan kepadamu.” Karena Al-Quran ini diturunkan pada fase yang lama, tidak sekaligus, oleh karena itu unsur momentum menjadi penting dalam memahaminya. Dan momentum-momentum itu diciptakan oleh Allah berulang dalam kehidupan manusia sehingga kemungkinan kita melakukan qiyas (analogi) kepada momentum-momentum itu sangat banyak walaupun tidak persis sama kejadiannya, tetapi kita tetap bisa mendapatkan ilham dari situ, karena Al-Quran dating dengan kaidah-kaidah umum dan tidak tergantung kepada kehususan sebab peristiwa turunnya. Kaidahnya adalah:
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Ibrah dari ayat itu adalah dengan keumuman lafaznya (teksnya) dan bukan dengan kekhususan sebab turunnya.
Konteks turunnya penting memberikan kita ilham untuk menemukan kesamaan, tetapi ibrahnya tetap saja berlaku umum. Surat-surat Al-Quran itu memiliki kedekatan-kedekatan antara satu dengan lainnya. Seperti surat Al-Anfal, At-Taubah, Muhammad dan Al-Fath adalah surat-surat jihad dari sisi tema suratnya.
Contoh lain: ketika kita melihat kata al-makr (makar) di dalam Al-Quran, maka ayat-ayatnya menjelaskan bagaimana konstruksi konseptual dari makar itu dalam tinjauan Al-Quran. Salah satu yang menarik bahwa semua makar yang disebutkan dalam Al-Quran selalu dihubungkan dengan sifat Allah yang terkait dengan Al-qudrah (kemahakuasaan Allah) dan selalu diletakkan dalam konteks al-qadha wal qadar, supaya kita membaca tentang makar manusia sehebat apapun, tetapi kendali alam semesta ini tetaplah dalam kekuasaan Allah swt seperti ayat yang dibacakan tadi oleh “Hafizh” anak salah seorang ikhwah yg sudah hafal 30 juz:
وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَبَقُوا إِنَّهُمْ لا يُعْجِزُونَ (٥٩)
Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah).
Begitu juga ayat-ayat yang terkait dengan fakta-fakta alam raya, seperti angin yang dijelaskan sebagai salah satu tentara Allah swt, oleh karena itu sains tidak pernah punya ilmu pasti tentang arah angin, tetapi selalu perkiraan, karena Allah lah yang yusharrifuhu (mengarahkannya) sekehendak-Nya . Bahwa setiap benda ada malaikat yang mengurusnya, waktu kita naik pesawat melalui turbulence, ada malaikat yang khusus mengatur akan dibawa kemana angin itu.
Pembacaan dan perenungan seperti ini akan meningkatkan penghayatan kita dan dengan sendirinya akan memberikan kepada kita pencerahan ruhiyyah, terutama saat kita menghadapi begitu banyak syubuhat (hal-hal yang kabur), atau berhadapan dengan keadaan kritis. Efek dari penghayatan itu akan muncul di saat-saat seperti itu. Dialah yang memberikan kita kepastian, dialah yang juga memberikan kita keteguhan.
Saya kira kita memang memiliki masalah bahasa untuk melakukan tilawah ta-ammuliyyah bagi ikhwah/akhawat yang tidak berbahasa arab. Disamping fakta ini harus disesali (krn dia bahasa ahlul jannah) juga kita harus mengurangi penyesalan ini dengan rajin membaca kitab tafsir yang Alhamdulillah beberapa referensi utamanya sdh diterjemahkan. Kita bersyukur karena gerakan terjemah selama 20 tahun ini luar biasa kemajuannya.
- Shalat
Shalat adalah imaduddin atau tulang punggung dari tadayyun (religiusitas) kita. Saya ingin menjelaskan sedikit hal-hal yang aplikatif. Kira-kira jumlah rakaat shalat wajib dan sunnah yang kita lakukan sehari berjumlah 42 rakaat: 17 rakaat shalat 5 waktu, 10 rakaat sunnah rawatib (2 sebelum zhuhur, 2 sesudah zhuhur, 2 sesudah isya dan 2 sebelum subuh), 4 rakaat dhuha, 11 rakaat QL.
Yang faraidh (wajib) kita harus berusaha melaksanakannya dalam keadaan berjamaah di masjid atau di kantor atau di perjalanan, agar kita mendapat penggandaan pahala dan keutamaannya. Lalu berusaha menjaga 10 rakaat yang rawatib tadi dan selalu kita menjadikannya sebagai standar. Shalat dhuha saya kira tidak terlalu sulit bagi kita melakukannya karena masih segar di pagi hari.
Tentang QL: kita hidup di era yang tidak terlalu normal, sebagian waktu kita ditentukan oleh orang lain sehingga kita tidak bisa tidur seperti yang disunnahkan oleh Rasulullah saw di awal malam. Faktor-faktor yang membuat kita bisa tahajjud seperti yang disebutkan oleh Imam Ghazali dalam Al-Ihya seperti qailulah misalnya hampir kita tidak bisa melaksanakannya. Juga kemacetan di kota dll. Ada anjuran yang baik dari ust Salim bahwa witir yang biasa kita lakukan tiga rakaat langsung saja kita laksanakan 11 rakaat. Sehingga kita bisa menggenapkan 42 rakaat dalam sehari.
Ikhwah sekalian sebenarnya yang penting dari ibadah-ibadah ini adalah al-muwazhabah (kesinambungan). Misalnya jika kita belum kuat shalat qiyam dengan waktu dan bacaan yang lama, lakukanlah terus menerus meski dengan surat-surat pendek, terus menerus. Nanti secara perlahan-lahan kita pasti akan menemukan kekuatan-kekuatan baru sambil jalan untuk melakukannya lebih lama. Kalau kita tidak bisa melakukan 11 rakaat, witirnya kita tambah dari 3 menjadi 5 rakaat, naik menjadi 7 dan seterusnya. Sekali lagi yang penting adalah kesinambungan. Insya Allah kalau kita melaksanakan tilawah dan shalat secara berkesinambungan seperti ini kita akan mempunyai tingkat stabilitas ruhiyyah yang bagus.
- Dzikir (muthlaq)
Yang saya maksudkan adalah dzikir mutlak, kalau wazhifah kubra/ al-ma’tsurat saya piker antum semua sudah tahu. Imam Syahid berijtihad mengumpulkan doa-doa yang bertebaran dari sekian banyak hadits dikumpulkan jadi satu dan dianjurkan untuk dibaca pagi dan petang.
Seandainya karena kesibukan dan lain-lain kita tidak sempat melakukannya, secara umum penggantinya adalah dzikir mutlak ini, misalnya istighfar yang kit abaca seratus kali atau seribu kali, la ilaha illallah seratus atau seribu kali. Dzikir mutlak ini yang kita perbanyak sehingga ini yang mengimbangi wirid-wirid yang kita baca dalam sehari.
Sebenarnya dzikir ini adalah tools untuk menjaga ingatan kita kepada tujuan akhir.
Inilah 3 wasail utama tarbiyah ruhiyyah, mudah-mudahan memberikan kita energi untuk memikul beban dan energi utk melawan musuh insya Allah.
Rata-rata kita sudah terlibat dalam tarbiyah 15 atau 20 tahun, dan dari sisi umur rata-rata kita yg hadir ini juga tidak bisa disebut muda lagi. Kalau kita melihat bahwa umur ummat Rasulullah saw itu antara 60 sd 70 th, maka kita sudah memasuki sepertiga terakhir. Kalau kita melihat hal ini dan lingkungan hidup seperti sekarang ini, hampir bisa dipastikan bahwa kita tidak bisa melakukan amal-amal besar kecuali satu atau dua saja. Umur 0-20 manusia paling kuat perkembangannya pada aspek fisik, mencapai puncaknya di usia 20-an, 20-an sd 40 adalah puncak pencapaian intelektual, 40 – 60 adalah sisi ruhiyahnya. Persimpangan 40-an ini ketika fisik kita masih kuat, intelektualitas mencapai puncaknya, kita sedang memasuki fase spiritual yang kuat. Biasanya ini disebut sebagai tahun-tahun kematangan sekaligus fase terakhir dari hidup kita. Jadi kita kalau kita menggeluti sesuatu seperti tarbiyah ini dari usia 20-an sampai usia 40-an, maka fase 40-an ini adalah “golden age” dari seluruh pencapaian hidup kita semuanya. Kira-kira seperti firman Allah swt:
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (٢٢)
Dan tatkala dia (Nabi Yusuf) cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Oleh karena itu kita berharap di dalam fase hidup ini kita bisa melakukan sesuatu yang besar atau saya sering mengistilahkan dengan amal unggulan yang kita harapkan bisa mengantarkan kita ke surga. Penting agar ini menjadi kesadaran individual kita semua bahwa kita sedang memasuki sepertiga terakhir dari perjalanan hidup kita dan mesti ada pencapaian yang benar-benar besar sekali lagi yang bisa mengantarkan kita ke surga. Semoga bermanfaat.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Oleh : M. Anis Matta, Lc